GRAHANEWS.COM, Jakarta – Hasil-hasil riset dan studi yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan ekstremisme banyak menyasar anak muda, termasuk mahasiswa.
Hal itu diungkap Direktur Riset PPIM UIN Jakarta, Didin Syafruddin dalam acara Diskusi Publik bertajuk, “Moderasi Beragama dan Tantangan Ekstremisme di Indonesia” yang diselenggarakan Lingkar Studi Politik Indonesia (LSPI) bersama Himpunan Mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama di Wisma Syahida Iin UIN Jakarta.
“Termasuk juga Perguruan Tinggi (Islam), semisal UIN, tidak luput dari paparan ekstremisme,” kata Didin pada Rabu (3/11/2022).
Didin membeberkan alasan kenapa mahasiswa di kampus yang homogen cenderung gampang terpapar virus radikalisme dan ekstremisme. Menurutnya, pergaulan sosial yang tidak plural menjadi salah satu penyebabnya.
“Karena interaksi mahasiswa yang homogen, pergaulan sosial yang tidak plural. Tidak terbiasa berinteraksi dengan orang yang beda agama,” bebernya.
Selain itu, sumber-sumber bacaan tentang agama yang satu arah. Menurut Didin, mahasiswa seharusnya bisa kritis dengan sumber bacaan yang satu arah.
“Apalagi, saat ini tren medsos sangat digandrungi oleh anak muda. Sumber bacaan anak muda sekarang adalah internet. Ini sangat mudah bagi anak muda atau mahasiswa untuk terpapar karena tanpa filter atau pengawasan,” ujarnya.
Temuan lain dalam survei yang dilakukan PPIM adalah anak muda cenderung lebih akomodatif terhadap ide-ide negara Islam atau khilafah.
“Kita menemukan dalam bentuk survei beberapa kali untuk siswa, mahasiswa, guru, kita juga studi kualitatif, kita juga studi tentang ekstrakurikuler, pesantren, takmir masjid, kita temukan hal yang secara umum disimpulkan, anak-anak muda ternyata meskipun mereka bagian tak terpisahkan dari dunia yang pluralis dan interaksi mereka paling tidak secara digital punya akses lebih luas, ternyata anak2 muda itu menunjukkan dukungan pada negara Islam lumayan tinggi,” ungkapnya.
Sementara itu, peneliti Center for The Study of Religion and Culture (CSRC), Mohamad Nabil mengatakan, orang ikut paham ekstrem atau sejenisnya karena tertarik pada kelompok yang bisa memberikan kepastian atau jawaban pasti akan kegamangan yang dihadapinya.
“Riset yang saya lakukan, misalnya di perguruan tinggi umum, pergaulannya boleh beragam lintas kelompok dan agama, tapi kenapa juga terpapar karena kelompok-kelompok ekstrem menyasar mahasiswa yang sedang galau, sedang gamang dan mereka bisa memberikan kejelasan dan kepastian pada mereka yang sedang galau,” katanya di forum yang sama.
“Contohnya, saya pernah wawancara orang kenapa masuk ke HTI karena berawal dari saat putus cinta, saat ‘galau begini’ orang-orang HTI masuk mendekatinya dan memberikan jawaban akan kegalauannya itu,” imbuhnya.
Guru Besar Fakultas Ushuludin UIN Jakarta, Prof Media Zainul Bahri mengatakan perlunya moderasi beragama sebagai cara pandang beragama yang moderat.
“Jadi cara berpikirnya moderat, dan prilakunya moderat. Prakteknya di lapangan adalah kerukunan umat beragama,” paparnya.
Sementara itu, pengamat politik dan sosial, Fachry Ali menyebut perlunya narasi yang dapat mengimbangi gagasan-gagasan keagamaan yang berkembang di masyarakat.
“Maka yang dibutuhkan sebenarnya adalah smart power, bagaimana menggunakan kekuasaan yang dimiliki negara dengan cara cerdas. Negara harus jauh lebih cerdas dari seruan HRS. Karena dalam situasi seperti ini, kita berhadapan dengan pasar ide. Negara menjadi salah satu aktor yang memproduksi ide, tapi publik punya hak melemparkan ide. Supaya ide itu laku, maka kreator ide, dalam hal ini negara, itu harus lebih mengatasi seluruh aktor-aktor yg melahirkan ide di luar negara,” tukasnya.