GRAHANEWS.COM, Jakarta – Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan demokrasi mengakomodir semua ide dan pemikiran, termasuk ide-ide yang menolak demokrasi itu sendiri. Namun, demokrasi tidak bisa mentolerir ide-ide yang mengarah pada tindakan destruktif seperti menyebarkan paham radikal. Ia kemudian menyinggung keberadaan HTI dan FPI yang akhirnya dibubarkan oleh pemerintah.
“Pada dasarnya, organisasi-organisasi sebagaimana sebutlah HTI, FPI dll merupakan suatu wadah yang kita nilai sebagai aspirasi. Sudut pandang kita dalam organisasi tersebut sebenarnya tidak salah. Salah satu hal yang menyebabkan ia dilarang adalah penganut-penganut organisasi tersebut melakukan tindakan destruktif yang dapat mengganggu masyarakat yang lain. Semisal dengan cara melakukan kekerasan dan lain-lain,” kata Ray dalam kegiatan Diskusi Piblik bertajuk, “Tantangan Radikalisme di Alam Demokrasi,” di Kampus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Kamis (16/6/2022).
Dalam hal pelaku dan penyebar radikalisme yang mengarah pada kekerasan berbasis agama, lanjut Ray, harus dilakukan penindakan hukum secara adil dan manusiawi.
“Poin penting sebenarnya hukum kita adalah memberikan tindakan tegas terhadap pelaku dan penyebar radikalisme dan memberikan sanksi terhadapnya. itu peran penting dari hukum kita yang berkenaan dengan radikalisme ini,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan peneliti Setara Institute Cucu Sutrisno. Ia sepakat pentingnya penegakan hukum bagi kelompok yang hendak merongrong Pancasila dan UUD 1945. Namun, tetap harus mengedepankan HAM. “Perlu adanya Penegakan hukum yang adil dan tentu tidak melanggar HAM,” ujarnya.
Sementara itu, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jogjakarta, Saifuddin di forum yang sama mengatakan, paham radikal saat ini sudah masuk kampus sehingga dia menyebut kampus sudah tidak aman dari radikalisme.
“Kampus sudah tidak aman, diinfiltrasi oleh gerakan radikal. Kalau kita runut sejarahnya bukan sesuatu yang datang tiba-tiba,” kata Saifuddin.
Kampus UIN yang notabene kampus Islam moderat juga tidak lepas dari ancaman radikalisme. Transformasi IAIN ke UIN justru menjadi salah satu faktor masuknya radikalisme di kalangan perguruan tinggi.
“Kalau masih IAIN, 65 persen mahasiswanya dari madrasah, 35 persennya dari sekolah umum. Ketika jd UIN berbalik, 55 persen dari sekolah umum dan 45 persen dari madrasah,” ujarnya.
“Alumi sekolah umum itu biasanya kosong dari segi pengetahuan agama lalu dicekoki dengan ideologi radikal. Alumni umum ini haus dengan pengetahuan agama, lalu mereka ketemu dengan kelompok eksklusif. Sementara alumni pondok, tidak lagi belajar agama, tapi filsafat dan sosiologi,” tukasnya.
Masih di forum yang sama, Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN KHAS Jember, Wildani Hefni mengungkapkan merebaknya berita hoax turut andil terhadap peningkatan radikalisme di Indonesia. “Karena banyak narasi-narasi negatif yang kita temui di sana,” katanya.