Posisi Indonesia di ASEAN dalam Pendidikan Matematika dan Sains

Hafid Abbas

Pada pengukuhan guru besarnya, 12 Juli 2022, Yurniwati, Guru Besar dalam bidang Ilmu Pendidikan Matematika, pada Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ mengangkat topik Pengembangan Pedagogical Content Knowledge dalam Memperkuat Literasi Matematis.

Pada pengukuhannya di hari yang sama, Agung Purwanto, Guru Besar dalam bidang Ilmu Pendidikan Lingkungan Hidup, pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, mengetengahkan isu pemanfaatan e-modul dengan pendekatan Science, Environment, Technology, and Society (EM-SETS) untuk meningkatkan mutu pendidikan sains.

Kedua guru besar baru UNJ tersebut merisaukan rendahnya capaian siswa Indonesia dalam bidang pendidikan matematika dan sains. Keadaan ini terlihat semakin memburuk setelah Indonesia dilanda pandemi Covid-19 selama 2-3 tahun terakhir ini. Data korban pandemi Covid-19 pada 30 April 2022, terdapat 6.046.796 kasus, kedua tertinggi di ASEAN, berada setelah Vietnam. Dengan 156.257 jumlah korban jiwa, Indonesia juga kedua tertinggi di Asia dan ke sembilan di dunia (Covid-19 Databased, 2020).

UNESCO dan UNICEF (2020) melaporkan bahwa Covid-19 telah semakin memperlebar kesenjangan mutu pendidikan antara Jawa dan luar Jawa, negeri dan swasta, kota dan desa, dsb. Dilaporkan bahwa diperkirakan terdapat 68 juta anak telah kehilangan akses pendidikan di masa pandemi, karena seluruh sekolah dan pusat kegiatan belajarnya di masyarakat ditutup. Satu-satunya solusi dari keadaan itu adalah menggantinya dengan pembelajaran online.

Perkembangan Capaian Indonesia di PISA, TIMSS dan IAEA

Dalam dua-tiga dekade terakhir, perkembangan capaian Indonesia dalam bidang pendidikan Matematika dan Sains terlihat terus menurun. Majalah The Economist, pada edisi 29 Maret 1997 menurunkan laporan the Third International Maths and Science Study (TIMSS). Di antara 41 negara sampel, anak SD dan SMP Singapore, Korea Selatan, Jepang dan Hong Kong, ternyata berada pada urutan teratas mengungguli US dan Inggeris yang mempunyai wajib belajar lebih lama. US berada pada urutan ke 28 dalam Matematika, dan ke 17 dalam Sains. Inggeris berada pada urutan ke 25 dalam Matematika dan Skotlandia pada urutan ke 29. Bahkan, skor rata-rata matematika anak Singapore (643) tampak sekitar dua kali lebih tinggi dibanding anak-anak Afrika Selatan (326).

Dalam penelitian TIMSS tersebut, Indonesia tidak termasuk negara peserta karena didiskualifikasi akibat data yang disampaikan dinilai tidak akurat.  Diduga jawaban soal-soal yang dilaporkan itu tidak dikerjakan oleh siswa, tetapi oleh para guru.

Pada pemeringkatan Programme for International Student Assessment (PISA, 2018) yang dirilis hasilnya pada 3 Des. 2019, dengan mengolah sekitar 600.000 data respon siswa yang berasal dari 79 negara, terlihat posisi Indonesia jauh tertinggal dari tetangganya. Untuk Matematika, Singapura berada di urutan ke-2, Vietnam ke-24, Malaysia ke-48, Brunei ke-52, Thailand 58, dan Indonesia di urutan ke-72 atau ke-5 terendah dari bawah.

Yang juga amat memprihatinkan dalam dua dekade terakhir terlihat capaian Indonesia terus menurun. Pada 2003, misalnya, Indonesia berada di urutan ke-37, namun pada 2006 menurun ke-47. Selanjutnya pada 2009,  capaiannya menurun lagi ke urutan 55. Demikian seterusnya, pada 2012, prestasinya melorot lagi  ke-60, dan pada 2015 terus menurun ke-66, selanjutnya pada 2018 menurun lagi ke urutan 72.

Sebaliknya, negara lain terlihat terus meningkat, misalnya, Malaysia meningkat dari urutan ke-48 pada 2012 ke urutan 45 pada 2015.

Gambaran penurunan yang relatif sama juga terjadi pada matapelajaran Sains (PISA, 2018). Untuk Sains misalnya, Vietnam berada di urutan ke-4 dengan skor 543, sementara Indonesia di urutan 71 dengan skor 396, atau anak-anak Indonesia tertinggal 73 persen dari prestasi anak-anak Vietnam.

Studi internasional lainnya yang dilakukan oleh International Association for Evaluation Achievement  (IAEA) pada anak SD dalam Reading Literacy Study, Indonesia ternyata berada pada urutan kedua terendah dari 23 negara sampel dalam hal kemampuan memahami bacaan (reading comprehension). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu memahami sekitar 30 persen dari materi bacaan. Mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan kegiatan penalaran. Mungkin, mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal-soal pilihan ganda. Pada studi IEA tersebut, kemampuan anak-anak SD dan SMP Indonesia tampak jauh tertinggal dari negara-negara tetangga (Kompasiana, 1/12/2019).

Ibarat penyakit, seorang pasien yang dirawat di Rumah Sakit, setelah mendapat perawatan, penyakitnya ternyata tidak memperlihatkan gejala membaik, malah sebaliknya, keadaannya semakin memburuk. Jika saja anggaran 20 persen dari seluruh dana APBN dan APBD sebagaimana yang diamanatkan oleh Konstitusi berguna bagi peningkatan mutu pendidikan nasional maka tentu gambaran suram wajah pendidikan nasional itu tidak terjadi.

Jika tidak ada perubahan segera terhadap pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada mutu, tentu ini akan menjadi sumber malapetaka bagi masa depan bangsa, dan menjadi berkah bagi negara-negara tetangga karena akan mendapat suplai tenaga kerja kasar yang melimpah dari Indonesia.  Saat ini saja (2022), diperkirakan terdapat sekitar dua juta Buruh Migran Indonesia yang bekerja di Malaysia.

Mencari Solusi

Bertolak dari keprihatinan yang mendalam atas realitas rendahnya mutu pendidikan Matematika dan Sains, Yurniwawi menawarkan penerapan model Multisensory dalam Matematika. Model ini memiliki tiga tahap yakni: (i) Kinestetik sebagai tahap siswa belajar dengan menggunakan alat peraga, yang memungkinkan siswa memegang, mengubah, membentuk, menyusun alat peraga menjadi model konkret suatu konsep Matematika; (ii) Visual yang memberi pengalaman belajar kepada siswa mentransfer model konkret menjadi gambar yang tidak terbatas pada bentuk gambar tetapi juga dapat dikembangkan menjadi bentuk bagan, tabel, diagram, dll; dan (iii) Auditory adalah diskusi sesama siswa, presentasi, peer teaching, dll.

Model multisensori didasari oleh teori yang paling mendasar yaitu teori Piaget (1952) yang menyatakan bahwa siswa memahami konsep logis Matematika setelah mereka berinteraksi  dengan objek tidak disebabkan oleh objek itu sendiri. Teori yang dimukakan setengah abad yang lalu itu masih terbukti kebenarannya sampai sekarang.

Selanjutnya, untuk pendidikan Sains, Agung Purwanto menyarankan menyarankan pemanfaatan Electronic Module berbasis Science, Environment, Technology, and Society. E-modules sebagai salah satu bentuk teknologi yang dapat digunakan untuk mengintegrasikan Pendidikan Lingkungan dalam Pembelajaran Sains.

Terakhir, paradigma dunia pendidikan tampaknya sudah lama bergeser dari kuatnya penekanan pada learning to know ke learning to learn. Ternyata lebih baik belajar 30 persen materi pembelajaran dengan penguasaan 90 persen, dari pada belajar 90 persen materi kurikulum dengan penguasaan 30 persen. Sebab dengan pengalaman belajar yang benar, mendalam, menyenangkan dan terjadi kebebasan berfikir kreatif, berbagai studi menujuknan anak didik dapat menstransfer pengalaman belajar itu untuk mengetahui pengetahuan yang lain.

Belajar bagaimana belajar sebagai wujud pendekatan pembelajaran multisensory dan inegratif seperti telah dikemukakan oleh Yurniwati dan Purwanto ternyata telah memacu terjadinya eskalasi penemuan satu ke penemuan lainnya yang secara berantai mengantar lahirnya penemuan-penemuan ilmiah yang spektakuler.

Semoga ke depan, seperti disarankan oleh UNESCO dan ILO (1966). tidak akan ada lagi pihak yang main-main dengan urusan pendidikan, menyerahkan urusan pendidikan ke mereka yang tidak mengerti pendidikan dan tidak berpengalaman menjadi guru. Seperti halnya rumah sakit, urusan kesehatan berilah kepercayaan itu kepada para dokter yang mengerti ilmu kesehatan.

Penulis: Prof. Hafid Abbas (Konsultan Internasional SEAMEO RETRAC, Ho Chi Minh, 2014)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *