GRAHANEWS.COM, Papua – Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) meminta semua pihak untuk menghormati proses pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang saat ini sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu disampaikan Kepala Biro Papua PGI, Ronald Richard Tapilatu saat dimintai tanggapannya terkait pengesahan tiga rancangan undang-undang daerah otonomi baru (RUU DOB) Papua oleh DPR RI dalam Rapat Paripurna pada Kamis (30/6/2022).
Richard menjelaskan PGI tidak dalam rangka mendukung atau menolak penambahan wilayah baru di Papua. Namun demikian, ia mengatakan PGI memiliki tanggung jawab moral politik untuk mengingatkan semua pihak agar tidak gegabah mengambil langkah terkait RUU DOB ini.
“PGI tidak di posisi menolak atau menerima. PGI di posisi mengingatkan semua pihak ada proses hukum yang sementara berlangsung di MK. Sabar lah nunggu proses hukum selesai baru kita sama-sama melihat tindak lanjutnya,” kata Richard saat dihubungi Grahanews.com melalui sambungan telefon pada Jumat (1/7/2022).
Richard mengungkapkan Majelis Rakyat Papua (MRP) menggugat RUU DOB ke MK memiliki banyak aspek pertimbangan, salah satunya terkait kesiapan Papua menambah provinsi baru. Sehingga, lanjutnya, langkah ini harus dihormati.
“Kan ini DOB-nya dibuka, tapi PAD-nya masih rendah di seluruh Papua. DOB dibuka, indeks pembangunan manusia juga masih rendah. Jadi ketergantungan terhadap dana transfer dan dana hibah itu masih tinggi,” ungkapnya.
Sementara itu, kata Richard, pemekaran wilayah baru ini justru tidak dibarengi dengan penambahan dana transfer hibah dan dana infrastruktur oleh pemerintah pusat. Ia mengatakan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk Papua tetap 2,25 persen.
“2,25 persen itu untuk 2 provinsi, provinsi Papua dan Papua Barat. Sekarang kalau tambah 3 lagi, memang DAU nasional itu ditambah? Ngga ditambah, tetap 2,25 persen. Cukup gak?” tanyanya.
Selain itu, lanjutnya, penambahan kewenangan pemerintah pusat terhadap Papua dalam hal pemekaran wilayah juga jadi soal. Menurutnya, dalam UU Otsus yang lama, pemekaran wilayah itu menjadi tanggung jawab MRP dan DPRP.
“Dalam kesepakatan awal UU itu dibentuk, pemekaran itu wilayahnya pemerintah provinsi, provinsi otonomi, provinsi otsus gitu. Jadi (campur tangan pemerintah soal pemekaran ini) malah membuat banyak orang bertanya-tanya gitu,” jelasnya.