GRAHANEWS.COM, Jakarta – Peneliti Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Indah Pangestu Amaritasari mengungkapkan serangan terorisme berbasis kekerasan di Indonesia mengalami tren kenaikan sejak tahun 2014 meskipun tidak setinggi pada tahun 2000.
Hal itu diungkap Indah dalam Diskusi Publik bertema, “Radikalisme dan Cita-cita Khilafah Perspektif Keamanan Nasional,” yang diselenggarakan Puskamnas Universitas Bhayangkara Jakarta Raya di Hotel D, Setiabudi, Jakarta Selatan, Minggu (14/8/2022).
Kenaikan ini, menurut Indah, dipicu oleh semakin gencarnya kampanye dan propaganda ISIS di media sosial seperti Youtube, Facebook dan Twitter sejak 2014 lalu.
“Kalau kita lihat hubungan linimasa dengan pergerakan terorisme di Indonesia menarik karena ternyata gerakan terorisme tidak hanya bergerak dengan jaringan internasional, tetapi ada konteks dilakukan serangan mandiri,” katanya.
“Kenapa? Karena ISIS, tepatnya sejak tahun 2014 menggunakan media sosial menyebarkan propagandanya,” imbuhnya.
ISIS, kata Indah, dalam propagandanya terus menyerukan agar pengikutnya melakukan jihad global secara mandiri atau lonewolf sehingga tren serangan terorisme naik.
“Ini ada hubungannya dengan apa yang diminta ISIS untuk melakukan global jihad atau lonewolf di negara masing-masing,” ujarnya.
Sebab itu, lanjutnya, penggunaan media sosial di kalangan Gen Z harus diwaspadai, jangan sampai justru menjadi perantara terjadinya radikalisasi. “Gen Z banyak mencari konten-konten agama secara instan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Indah berharap pencegahan terorisme dan radikalisme berbasis kekerasan di Indonesia dikakukan secara komprehensif. “Dalam arti mengadress semua isu termasuk memperhatikan hak asasi manusia (HAM) dan gender,” tukasnya.
Di tempat yang sama, Eks Juru Bicara Presiden Gus Dur, Ngatawi Al-Zastrow menyebut radikalisme harus jadi musuh bersama karena menjadi ancaman bagi bangsa.
“Jadi berbahaya dan ini lintas teritori, maka ini jadi musuh bersama bagi nation state. Bukan apa-apa karena yang diancam kemanusiaan, peradaban dan tatanan sosial. Semuanya jadi rusak sehingga dia (radikalisme berbasis kekerasan) jadi alfasad atau perusak,” katanya.
Ia mengatakan orang bisa terjangkit virus radikalisme karena pemahaman agama yang salah dan terlalu skriptualis memahami teks-teks agama. “Adanya faktor kemiskinan, ajakan, bodoh karena pendidikan yang buruk, dan lain-lain, menuurt saya, kuncinya satu, yaitu kesalahpahaman dalam mamahami agama,” tegasnya.
Ia kemudian mencontohkan gembong teroris Dr Azhari yang diduga kuat menjadi dalang dan otak sejumlah aksi teror di Indonesia. “Peracik bom Dr Azhari itu orang kaya. Dokter Azhari itu juga pinter,” ungkapnya.
Sementara itu, masih di forum yang sama, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti mengatakan perlunya membuka ruang setiap perbedaan dan penjelasan tentang demokrasi sebagai sistem pemerintahan.
“Mereka (kelompok radikal) bisa hidup karena demokrasi. Ancaman keberadaan mereka adalah kematian demokrasi. Jadi, kalau demokrasi mati, korban pertama adalah mereka,” ujarnya.
Ray mengatakan, pergantian kepemimpinan dari Nabi Muhammad ke para sahabat justru mencerminkan ciri-ciri demokrasi.
“Kalau kita lihat 4 khalifah itu saya kira mereka tidak sedang mendirikan khilafah, melainkan sedang mempromosikan cikal bakal demokrasi,” pungkasnya.